Sabtu, 31 Maret 2012

UNDANG-UNDANG HAK CIPTA




1.             Hak Cipta
Hak cipta merupakan suatu hak khusus yang diberikan kepada pencipta maupun kepada si penerima hak untuk dapat mempublikasikan, mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaan maupun member izin untuk hak tersebut dengan tidak mngurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan yang berlaku, dalam hal ini yaitu berdasarkan rumusan pasal 1 UHC Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut hak cipta merupakan hak yang melindungi pencipta atas karya-karya yang telah dihasilkannya. Hak cipta muncul dengan sendirinya setelah sebuah karya atau objek yang diciptakan muncul atau dilahirkan. Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian yaitu dengan beberapa cara, yaitu:
a.       Wasiat
b.      Hibah
c.       Perwarisan
d.      Perjanjian tertulis, atau
e.       Sebab-sebab lain yang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan.

2.             Istilah-istilah dalam Hak Cipta
Terdapat beberapa istilah pokok yang berhubungan dengan hak cipta. Adapaun istilah-istilah yang seringkali muncul mengenai hak cipta tersebut antara lain:
a.    Pencipta, merupakan seorang atau lebih yang secara bersama-sama melahirkan suatu suatu karya atau ciptaan yang lahir dari inspirasi, kemampuan pikir, imajinasi dan keterampilan.
b.    Pemegang hak cipta, merupakan orang-orang yang menerima hak tersbut dari pencipta maupun orang lain yang menerima lebh lanjut hak daripada orang tersebut.
c.    Ciptaan, merupakan objek atau hasil karya, buah pikir yang dilairkan oleh si pencipta dalam bentuknya yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam bidang pengetahuan, sastra maupun dalam bidang seni.
d.   Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
e. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.

3.             Undang-undang Hak Cipta
Undang-undnag yang manangani hak cipta yang ada di Indonesia yaitu undang-undang No. 19 tahun 2002 mengenai hak cipta yang sebelumnya undang-undang ini berawal dari undang-undang No.6 tahun 1982 menggantikan Auteurswet 1982. Undang-undang ini dikeluarkan sebagai upaya pemerintah untuk menggantikan hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah Belanda kepada seluruh system hukum yang dijiwai falsafah Negara Indonesia, yaitu Pancasila. Belum cukup sampai disini, undang-undang ini masih diperbarui dengan lahirnya undang-undang No. 7 tahun 1987 yang kemudian diperbarui lagi dengan undang-undang No. 12 tahun 1997 hingga akhirnya lahirlah undang-undang No. 19 tahun 2002 tersebut.
Terdapat beberapa hal yang merupakan batasan-batasan yang dilindungi sebagai hak cipta. Batasan tersebut dijelaskan dalam rumusan pasal 12 Undang-undang Hak Cipta (UHC) Indonesia adalah sebagai berikut:

Ayat 1
Dalam undang-undang ini, ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup:
a.    Buku, program computer, pamphlet, susunan perwajahan (layout), karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain.
b.    Ceramah, kuliah pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu.
c.    Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
d.   Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
e.    Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim.
f.     Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan.
g.    Arsitektur.
h.    Peta.
i.      Seni batik.
j.      Fotografi.
k.    Sinematografi.
l.      Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.

Ayat 2
Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai ciptaan tersendiri, dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli.

Ayat 3
Dalam lindungan sebaagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.
          Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa hal-hal yang dilindungi oleh undang-undang hak cipta yaitu hal-hal yang termasuk dalam karya ilmu pengetahuan, bidang kesenian, serta kesusastraan.
Apabila sebuah karya atau hasil ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai si pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh hasil ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian ciptaannya itu. Sedangkan apabila suatu Ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu.

Tidak ada Hak Cipta atas:
a. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
b. peraturan perundang-undangan;
c. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e. keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.

4.             Jangka Waktu Perlindungan Ciptaan
Setiap hasil karya yang diciptakan tentunya memiliki jangka waktu perlindungan terhadap ciptaan tersebut sesuai dengan kategorinya masing-masing. Jangka waktu perlidungan ciptaan adalah sebagai berikut.
a.    Ciptaan buku, ceramah, alat peraga, lagu, drama, tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik terjemahan, tafsir, saduran, berlaku selama hidup Pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia.
b.    Ciptaan program komputer, sinematografi, fotografi, database, karya hasil pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
c.    Ciptaan atas karya susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan, berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali diterbitkan.
d.   Ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
e.    Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan : Ketentuan Pasal 10 Ayat (2) huruf b, berlaku tanpa batas.


Studi Kasus Pelanggaran Hak Cipta:
Di Indonesia seseorang dengan mudah dapat memfoto kopi sebuah buku, padahal dalam buku tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh pengarang atau orang yang ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila kegiatan foto kopi dilakukan dan tanpa memperoleh izin dari pemegang hak cipta maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. Lain lagi dengan kegiatan penyewaan buku di taman bacaan, masyarakat dan pengelola taman bacaan tidak sadar bahwa kegiatan penyewaan buku semacam ini merupakan bentuk pelanggaran hak cipta. Apalagi saat ini bisnis taman bacaan saat ini tumbuh subur dibeberapa kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta. Di Yogyakarta dapat dengan mudah ditemukan taman bacaan yang menyediakan berbagai terbitan untuk disewakan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kedua contoh tersebut merupakan contoh kecil dari praktek pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah bentuk dari pelanggaran hak cipta.
Padahal jika praktek seperti ini diteruskan maka akan membunuh kreatifitas pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena hasil karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun materil. Pengarang atau penulis mungkin akan memilih profesi lain yang lebih menghasilkan. Selain itu kurang tegasnya penegakan hak cipta dapat memotivasi kegiatan plagiasi di Tanah Air. Kita tentu pernah mendengar gelar kesarjanaan seseorang dicopot karena meniru tugas akhir karya orang lain. 
Mendarah dagingnya kegiatan pelanggaran hak cipta di Indonesia menyebabkan berbagai lembaga pendidikan dan pemerintah terkadang tidak sadar telah melakukan kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal, seharusnya berbagai lembaga pemerintah tersebut memberikan teladan dalam hal penghormatan terhadap hak cipta. Contoh konkrinya adalah perpustakaan, lembaga ini sebenarnya rentan akan pelanggaran hak cipta apabila tidak paham mengenai konsep hak cipta itu sendiri. Plagiasi, Digitalisasi koleksi dan layanan foto kopi merupakan topik-topik yang bersinggungan di hak cipta. Akan tetapi selain rentan dengan pelanggaran hak cipta justru lembaga ini dapat dijadikan sebagai media sosialisasi hak cipta sehingga dapat menimalkan tingkat pelanggaran hak cipta di Tanah Air.
Perpustakaan menghimpun dan melayankan berbagai bentuk karya yang dilindungi hak ciptanya. Buku, jurnal, majalah, ceramah, pidato, peta, foto, tugas akhir, gambar adalah sebagai format koleksi perpustakaan yang didalamnya melekat hak cipta. Dengan demikian maka perpustakaan sebenarnya sangat erat hubungannya dengan hak cipta. Bagaimana, tidak di dalam berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan melekat hak cipta yang perlu dihormati dan dijaga oleh perpustakaan. Jika tidak berhati-hati atau memiliki rambu-rambu yang jelas dalam pelayanan perpustakaan justru perpustakaan dapat menyuburkan praktek pelanggaran hak cipta.
Untuk itu dalam melayankan berbagai koleksi yang dimiliki perpustakaan, maka perpustakaan perlu berhati-hati agar layanan yang diberikannya kepada masyarakat bukan merupakan salah satu bentuk praktek pelanggaran hak cipta. Dan idealnya perpustakaan dapat dijadikan sebagai teladan dalam penegakan hak cipta dan sosialisasi tentang hak cipta.
Layanan foto kopi, digitalisasi koleksi serta maraknya plagiasi karya tulis merupakan isu serta layanan perpustakaan yang terkait dengan hak cipta. Perpustakaan perlu memberikan pembatasan yang jelas mengenai layanan foto kopi sehingga layanan ini tidak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak cipta. Dalam kegiatan digitalisasi koleksi, perpustakaan juga perlu berhati-hati agar kegiatan yang dilakukan tidak melanggar hak cipta pengarang. Selain itu perpustakaan juga perlu menangani plagiasi karya tulis dengan berbagai strategi jitu dan bukan dengan cara proteksi koleksi tersebut sehingga tidak dapat diakses oleh pengguna perpustakaan.

Foto kopi di perpustakaan
Praktek Foto kopi dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran hak cipta. Hal ini disebabkan karena foto kopi berarti memperbanyak suatu karya tanpa izin dari pengarang dan menerima keuntungan ekonomi atas jasa foto kopi yang diberikan
Kegiatan foto kopi di perpustakaan dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu foto kopi untuk pengadaan koleksi perpustakaan serta layanan foto kopi yang disediakan bagi pengguna perpustakaan. Kegiatan foto kopi untuk pengadaan koleksi perpustakaan bertujuan untuk memenuhi kepentingan perpustakaan, sedangkan layanan foto kopi bagi pengguna perpustakaan bertujuan untuk memudahkan pengguna perpustakaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sering dijumpai koleksi perpustakaan yang merupakan hasil foto kopi. Padahal kegiatan foto kopi ini merupakan suatu bentuk pelanggaran hak cipta. Hal ini disebabkan oleh masalah klasik yang selalu dihadapi perpustakaan yaitu keterbatasan dana. Perpustakaan idealnya mampu menjadi institusi pelopor penegakan hak cipta. Kalaupun suatu koleksi perpustakaan terpaksa difoto kopi itu didasarkan pada alasan bahwa buku tersebut tidak ada dipasaran dan tidak akan dicetak lagi oleh penerbit atau buku tersebut merupakan buku asing. Buku-buku asing harganya sangat mahal sehingga dalam kegiatan pengadaan perpustakaan cukup membeli satu eksemplar buku asing tersebut kemudia jumlahnya diperbanyak dengan di foto kopi.

Tanggapan:
Hak cipta merupakan suatu hak khusus yang diberikan kepada pencipta maupun kepada si penerima hak untuk dapat mempublikasikan, mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaan maupun member izin untuk hak tersebut dengan tidak mngurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan yang berlaku, dalam hal ini yaitu berdasarkan rumusan pasal 1 UHC Indonesia.
Semakin menjamurnya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta yaitu  lebih tepatnya dalam kasus memperbanyak buku bacaan dengan cara memfotokopi padahal dalam buku tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh pengarang atau orang yang ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila kegiatan foto kopi dilakukan dan tanpa memperoleh izin dari pemegang hak cipta.
Seperti yang telah dipaparkan dalam contoh kasus di atas, jika praktek seperti ini diteruskan maka akan membunuh kreatifitas pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena hasil karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun materil.
Di satu sisi, perpustakaan merupakan media yang di anggap paling tepat dalah hal mensosialisasikan hasil ciptaan (dalam hal ini buku bacaan) yang dibuat oleh para pengarangnya, dan disisi lain perpustakaan merupakan lembaga yang paling rantan terhadap pelanggaran-pelanggaran hak cipta tesebut. Dalam hal ini hanya dibutuhkan etika serta rasa kesadaran akan hak cipta, baik kita sebagai masyarakat Indonesia, maupun lembaga-lembaga yang terkait dalam pelanggaran-pelanggaran tersebut. Factor ekonomi merupakan pendukung utama yang mendorong seseorang untuk membenarkan diri memfotokopi buku bacaan. Perlu kiranya menumbuhkan kesadaran bahwa buku asli akan terasa lebih jelas, baik tulisan maupun gambarnya serta biasanya buku-buku hasil penggandaan melalui fotokopi akan cepat rusak sehingga tidak dapat bertahan lebih lama daripada buku asli yang diterbitkan pengarang. Meskipun harganya relatif mahal akan tetapi dapat menimbulkan rasa kepuasan tersendiri. Sebagai masyarakat yang baik, ayolah… hargai hasil orang karya lain.

Sumber Referensi:

Referensi Undang-undang Hak Cipta Indonesia bisa didownload pada alamat email dibawah ini:

Sabtu, 10 Maret 2012

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)




Klasifikasi Benda
Prof. Mahadi mengemukakan pendapatnya yang dirumuskan dari pasal 499 KUH perdata mengenai pengertian benda yaitu “yang menjadi dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak”. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian benda merupakan setiap barang dan hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Barang adalah benda materil (berwujud) dan hak merupakan benda immateril (tidak berwujud).
Contoh daripada benda materil atau berwujud telah dapat kita pahami bersama yaitu seperti  mobil, rumah, pakaian dan lain sebagainya. Hal tersebut tentunya menjadi hak milik materil atau berda berwujud bagi si pemilik benda-benda tersebut.  Sedangkan untuk benda immateril atau benda yang tidak berwujud yaitu seperti hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan serta hak atas penciptaan karya seni berupa irama lagu. Irama lagu tercipta dari hasil penalaran manusia melalui proses berfikirnya.

Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
            Hak kekayaan interlektual termasuk dalam bidang hukum perdata yang merupakan bagian hukum yang mengatur kebendaan. Hak kebendaan terdiri dari atas  hak benda materil dan hak benda immateril. Pembahasan mengenai hak kekayaan intelektual ini hanya mengenai hak benda yang tidak berwujud atau immateril.
Hak kekayaan intelektual atau Intellectual Property Rights merupakan hak yang melindungi hasil kreatifitas atas kemampuan daya pikir seseorang atau sekelompok orang yang diekspresikan kepada publik dalam berbagai bentuknya yang bermanfaat dan berguna menunjang kehidupan manusia serta tentunya memiliki nilai ekonomis. Pada dasarnya, hak kekayaan intelektual merupakan hak untuk dapat menikmati hasil dari suatu pola piker atau kreatifitas intelektual secara ekonomi.
Organisasi internasional yang menangani tentang hak kekayaan intelektual (HKI) yaitu WIPO (World Intellectual Property Organization). Sedangkan di Indonesia, badan organisasi yang berkepentingan dalam hak kekayaan intelektual adalah Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditejen HAKI) serta Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI. Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditejen HAKI) tentunya memiliki beberapa fungsi, adapun fungsi-fungsi tersebut antara lain meliputi:
1.      Merencanakan, melaksanakan serta melakukan pengawasan mengenai kebijakan teknis dalam bidang hak kekayaan intelektual.
2.      Melakukan pembinaan seperti memberikan bimbingan serta menyiapkan standar mengenai hak kekayaan intelektual
3.      Mmberikan pelayanan secara teknis dan administratif terhadap semua unsure yang terdapat di lingkungan Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektul (Ditjen HAKI).

Secara garis besar, ruang lingkup hak kekayaan intelektual dibagi menjadi dua bagian yaitu mengenai hak cipta dan hak perindustrian. Berikut ini merpakan penjelasan dari masing-masing bagian tersebut.

1.      Hak Cipta (Copy Rights)
Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau sipenerima hak cipta tersebut untuk menpublikasikan maupun memperbanyak hasil karya ciptaannya atau memberikan izin dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan undang-undang yang berlaku. Dasar hukum yang  menangani hak cipta adalah undang-undang No. 19 tahun 2002 mengenai hak cipta yang sebelumnya undang-undang ini berawal dari undang-undang No. 6 tahun 1982 menggantikan Auteurswet 1982. Undang-undang ini dikeluarkan sebagai upaya pemerintah untuk menggantikan hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah belanda kepada seluruh system hukum yang dijiwai falsafah Negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Hak cipta memiliki sifat-sifat seperti dapat dialihkan seluruh atau sebagian atau seluruhnya, hak cipta dianggap sebagai benda bergerak dan tidak berwujud serta hak cipta tidak dapat disita kecuali apabila hak cipta tersebut melawan hukum. Hasil ciptaan tidak wajiib didaftarkan karena pendaftaran hanya berperan sebagai alat bukti ketika ada pihak lain yang ingin mengakui hasil karya atau ciptaanya dikemudian hari.
Menurut Undang-undang Hak Cipta (UHC), yang termasuk dalam hak cipta yang perlu dilindungi yaitu mengenai ilmu pengetahuan, kesenian dan kesusastraan. Adapun jangka waktu untuk perlindungan hak cipta adalah sebagai berikut:
a.       Hak cipta berlangsung selama hidup pencipta dan akan terus berlangsung hingga 50  tahun setelah pencipta meninggal dunia,
b.      kurang lebih 50 tahun sejak diterbitkan, seperti buku, piranti lunak komputer, karya tulis, pamflet, dan hasil karya tulis yang dipegang oleh badan hukum; serta
c.       Untuk pencantuman dan perubahan nama samaran dari pencipta, hal ini berlaku tanpa batasan waktu.

2.      Hak Perindustrian (Industrial Property Rights)
Hak perindustrian dibagi menjadi beberapa bagian. Berikut ini merupakan pembagian daripada hak perindustrian yaitu meliputi:
1.      Hak Paten
Merupakan hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.
2.      Desain (design)
Merupakan rancangan yang berasal dari ide atau buah pikir manusia.
3.      Hak Merek
4.      Desain tata letak sirkuit terpadu, dll.


Studi Kasus Pelanggaran HAKI:
HAKI mendapatkan sorotan khusus karena hak tersebut dapat disalahgunakan dengan jauh lebih mudah dalam kaitannya dengan fenomena konvergensi teknologi informasi yang terjadi. Tanpa perlindungan, obyek yang sangat bernilai tinggi ini dapat menjadi tidak berarti apa-apa, ketika si pencipta atau penemu tidak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkannya selama proses penciptaan ketika orang lain justru yang memperoleh manfaat ekonomis dari karyanya. Di Indonesia pelanggaran HAKI sudah dalam taraf yang sangat memalukan. Indonesia mendudki peringkat ketiga terbesar dunia setelah Ukraine dan China dalam soal pembajakan software. Tingkat pembajakan yang terjadi di Indonesia dalam bidang komputer sungguh sangat memprihatinkan. Sekitar lebih dari 90% program yang digunakan di Indonesia merupakan program yang disalin secara ilegal.
Dampak dari pembajakan tersebut menurunkan citra dunia Teknologi Informasi Indonesia pada umumnya. Hal ini menurunkan tingkat kepercayaan para investor, dan bahkan juga menurunkan tingkat kepercayaan calon pengguna tenaga TI Indonesia. Pada saat ini bisa dikatakan tenaga TI Indonesia belum dapat dipercaya oleh pihak Internasional, hal ini tidak terlepas dari citra buruk akibat pembajakan ini. Yang lebih memprihatinkan lagi dikarenakan Indonesia merupakan Negara Asia pertama yang ikut menandatangani Perjanjian “Internet Treaty” di Tahun 1997. Tapi Indonesia justru masuk peringkat tiga besar dunia setelah Vietnam dan Cina, sebagai Negara paling getol membajak software berdasarkan laporan BSA (Bussiness Software Alliance).
Suburnya pembajakan software di Indonesia disebabkan karena masyarakatnya masih belum siap menerima HaKI, selain itu pembajakan software sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sekali di negeri kita dan umumnya dilakukan tanpa merasa bersalah. Bukan apa-apa, di satu sisi hal ini disebabkan karena masih minimnya kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai hak dan kekayaan intelektual yang terdapat pada setiap software yang digunakan. Di sisi lain, harga-harga software propriatery tersebut bisa dikatakan diluar jangkauan kebanyakan pengguna di indonesia. Berikut adalah daftar harga software asli dari Microsoft:. 
  • CD Original Windows® 98 Second Edition US$75 
  • CD Original Windows® Millennium Edition US$75 
  • CD Original Windows® XP Home Edition US$75 
  • CD Original Windows® 2000 Professional 1-2CPU US$175 
  • CD Original Windows® XP Professional US$175 
  • CD Original Windows® 2000 Server 1-4CPU for 5 CALs US$750 
  • CD Original Office 2000 SBE Edition (includes MS Word, MS Excel, MSOutlook, MS Publisher,Small Business Tools) US$210 
  • CD Original Office XP Small Business Win32 English (includes MS Word, MSExcel, MS Outlook, MS Publisher) US$200.

 Harga di atas tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan CD bajakan yang ada di Indonesia. Bagi kita pun, rasanya seperti sudah sangat biasa kita menemukan betapa sofware-software tersebut ataupun dalam bentuk collection yang dijual hanya dengan harga yang berkisar antara lima hingga beberapa puluh ribu rupiah di toko-toko komputer, ataupun perlengkapan aksesorisnya.
Permasalahan yang cukup menggelitik adalah kenyataan bahwa penggunaan software bajakan ini tidak hanya melingkupi publik secara umum saja, namun pula mencakup kalangan korporat, pemerintahan, atau bahkan para penegak hukumnya sendiri pun bisa dikatakan belum bisa benar-benar dikatakan bersih dari penggunaan software bajakan. Bagaimana sebenarnya cara yang bisa menjadi pemecahan terbaik dan cost-efective untuk melegalisasikan penggunaan software tersebut? Baik menggunakan opensource ataupun proprietary sama-sama membutuhkan investasi yang (secara makro) cukup besar.

Tanggapan:
Bentuk pelanggaran seperti ini umumnya disebabkan karena beberapa factor seperti lemahnya penegak hukum, kurangnya kesadaran masyarakat serta kondisi ekonomi yang terjadi pada kebanyakan masyarakat Indonesia. Tentunya hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Penegakan hukum di bidang HAKI harus dilakukan secara serius dan efektif.
Lemahnya penegak hukum merupakan salah satu factor yang menyebabkan meluasnya pembajakan software maupun penjualannya. Hal ini terjadi karena kurang tegasnya aparat hukum dalam menangani pelanggaran yang terjadi. Rendahnya hukuman yang diberikan kepada si pelaku pelanggaran HAKI menandakan lemahnya penegakan hukum di tanah air yang tidak dapat memberikan efek jera bagi si pelaku, Penyebab lainnya yaitu kadar pengetahuan dan jumlah aparat penegak hukum di bidang HKI masih belum memadai. Masih sedikit anggota Polri yang memiliki pengetahuan dan memahami tentang HKI dan dengan keterbatasan itu memungkinkan terjadinya ‘main mata’ antara penegak hukum dan si pelanggar. Oleh karena itu sebaiknya pemerintah melalui aparat penegak hokum dapat bersama-sama menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dengan penuh ketegasan menindak pelaku-pelaku pelanggaran dengan hukuman yang kiranya dapat menimbulkan efek jera bagi si pelaku pelanggaran hak tersebut serta menindak tegas aparat yang didapati berkompromi dalam bentuk apapun dengan si pelanggar.
Kurangnya kesadaran masyarakat akan kasus tersebut serta kondisi ekonomi yang terpuruk di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya juga merupakan factor yang sangat penting dalam meluasnya peredaran software bajakan. Sebaiknya masyarakat sadar bahwa software original lebih baik dalam hal kualitas, umur pemakaian dan lain sebagainya. Meskipun harganya sedikit lebih mahal, akan tetapi dapat menimbulkan rasa kepuasan tersendiri dan akan terasa jauh perbedaannya antara kualitas software bajakan dan software original. Upaya dalam menangani peredaran software bajakan tersebut dimulai dari masyarakat itu sendiri, misalnya dengan cara memboikot berbagai jenis software bajakan.