1.
Hak
Cipta
Hak
cipta merupakan suatu hak khusus yang diberikan kepada pencipta maupun kepada
si penerima hak untuk dapat mempublikasikan, mengumumkan atau memperbanyak
hasil ciptaan maupun member izin untuk hak tersebut dengan tidak mngurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan yang berlaku, dalam hal ini yaitu
berdasarkan rumusan pasal 1 UHC Indonesia.
Berdasarkan
hal tersebut hak cipta merupakan hak yang melindungi pencipta atas karya-karya
yang telah dihasilkannya. Hak cipta muncul dengan sendirinya setelah sebuah
karya atau objek yang diciptakan muncul atau dilahirkan. Hak cipta dapat
beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian yaitu dengan beberapa
cara, yaitu:
a. Wasiat
b. Hibah
c. Perwarisan
d. Perjanjian
tertulis, atau
e. Sebab-sebab
lain yang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan.
2.
Istilah-istilah
dalam Hak Cipta
Terdapat
beberapa istilah pokok yang berhubungan dengan hak cipta. Adapaun
istilah-istilah yang seringkali muncul mengenai hak cipta tersebut antara lain:
a. Pencipta,
merupakan seorang atau lebih yang secara bersama-sama melahirkan suatu suatu
karya atau ciptaan yang lahir dari inspirasi, kemampuan pikir, imajinasi dan
keterampilan.
b. Pemegang
hak cipta, merupakan orang-orang yang menerima hak tersbut dari pencipta maupun
orang lain yang menerima lebh lanjut hak daripada orang tersebut.
c. Ciptaan,
merupakan objek atau hasil karya, buah pikir yang dilairkan oleh si pencipta
dalam bentuknya yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam bidang pengetahuan,
sastra maupun dalam bidang seni.
d. Lisensi
adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait
kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau
produk hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
e. Direktorat
Jenderal adalah Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang berada di
bawah departemen yang dipimpin oleh Menteri.
3.
Undang-undang
Hak Cipta
Undang-undnag
yang manangani hak cipta yang ada di Indonesia yaitu undang-undang No. 19 tahun
2002 mengenai hak cipta yang sebelumnya undang-undang ini berawal dari
undang-undang No.6 tahun 1982 menggantikan Auteurswet 1982. Undang-undang ini
dikeluarkan sebagai upaya pemerintah untuk menggantikan hukum yang ditinggalkan
oleh pemerintah Belanda kepada seluruh system hukum yang dijiwai falsafah
Negara Indonesia, yaitu Pancasila. Belum cukup sampai disini, undang-undang ini
masih diperbarui dengan lahirnya undang-undang No. 7 tahun 1987 yang kemudian
diperbarui lagi dengan undang-undang No. 12 tahun 1997 hingga akhirnya lahirlah
undang-undang No. 19 tahun 2002 tersebut.
Terdapat
beberapa hal yang merupakan batasan-batasan yang dilindungi sebagai hak cipta.
Batasan tersebut dijelaskan dalam rumusan pasal 12 Undang-undang Hak Cipta
(UHC) Indonesia adalah sebagai berikut:
Ayat
1
Dalam undang-undang ini, ciptaan yang
dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang
mencakup:
a. Buku,
program computer, pamphlet, susunan perwajahan (layout), karya tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis
lain.
b. Ceramah,
kuliah pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu.
c. Alat
peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
d. Lagu
atau musik dengan atau tanpa teks.
e. Drama
atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim.
f. Seni
rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi,
seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan.
g. Arsitektur.
h. Peta.
i. Seni
batik.
j. Fotografi.
k. Sinematografi.
l. Terjemahan,
tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lainnya dari hasil
pengalihwujudan.
Ayat
2
Ciptaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai ciptaan tersendiri,
dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli.
Ayat 3
Dalam
lindungan sebaagimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) termasuk juga semua ciptaan
yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan
yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.
Berdasarkan hal tersebut, dapat
dipahami bahwa hal-hal yang dilindungi oleh undang-undang hak cipta yaitu
hal-hal yang termasuk dalam karya ilmu pengetahuan, bidang kesenian, serta
kesusastraan.
Apabila
sebuah karya atau hasil ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang
diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai si pencipta ialah
orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh hasil ciptaan itu,
atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah
orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas
bagian ciptaannya itu. Sedangkan apabila suatu Ciptaan yang dirancang seseorang
diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan
orang yang merancang, Penciptanya adalah orang yang merancang Ciptaan itu.
Tidak
ada Hak Cipta atas:
a.
hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
b.
peraturan perundang-undangan;
c.
pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
d.
putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
e.
keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
4.
Jangka
Waktu Perlindungan Ciptaan
Setiap hasil karya yang diciptakan tentunya memiliki
jangka waktu perlindungan terhadap ciptaan tersebut sesuai dengan kategorinya
masing-masing. Jangka waktu perlidungan ciptaan adalah sebagai berikut.
a.
Ciptaan buku, ceramah, alat peraga, lagu,
drama, tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik terjemahan, tafsir,
saduran, berlaku selama hidup Pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta
meninggal dunia.
b.
Ciptaan program komputer, sinematografi,
fotografi, database, karya hasil pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun
sejak pertama kali diumumkan.
c.
Ciptaan atas karya susunan perwajahan
karya tulis yang diterbitkan, berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali
diterbitkan.
d.
Ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh
badan hukum berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
e.
Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan
oleh Negara berdasarkan : Ketentuan Pasal 10 Ayat (2) huruf b, berlaku tanpa
batas.
Studi Kasus Pelanggaran Hak Cipta:
Di Indonesia seseorang dengan mudah dapat memfoto kopi
sebuah buku, padahal dalam buku tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh
pengarang atau orang yang ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila kegiatan
foto kopi dilakukan dan tanpa memperoleh izin dari pemegang hak cipta maka
dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. Lain lagi dengan kegiatan
penyewaan buku di taman bacaan, masyarakat dan pengelola taman bacaan tidak
sadar bahwa kegiatan penyewaan buku semacam ini merupakan bentuk pelanggaran
hak cipta. Apalagi saat ini bisnis taman bacaan saat ini tumbuh subur
dibeberapa kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta. Di Yogyakarta dapat dengan
mudah ditemukan taman bacaan yang menyediakan berbagai terbitan untuk disewakan
kepada masyarakat yang membutuhkan. Kedua contoh tersebut merupakan contoh
kecil dari praktek pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan oleh masyarakat
dan masyarakat tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah bentuk
dari pelanggaran hak cipta.
Padahal jika praktek seperti ini diteruskan maka akan
membunuh kreatifitas pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena
hasil karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril
maupun materil. Pengarang atau penulis mungkin akan memilih profesi lain yang
lebih menghasilkan. Selain itu kurang tegasnya penegakan hak cipta dapat
memotivasi kegiatan plagiasi di Tanah Air. Kita tentu pernah mendengar gelar
kesarjanaan seseorang dicopot karena meniru tugas akhir karya orang lain.
Mendarah
dagingnya kegiatan pelanggaran hak cipta di Indonesia menyebabkan berbagai
lembaga pendidikan dan pemerintah terkadang tidak sadar telah melakukan
kegiatan pelanggaran hak cipta. Padahal, seharusnya berbagai lembaga pemerintah
tersebut memberikan teladan dalam hal penghormatan terhadap hak cipta. Contoh
konkrinya adalah perpustakaan, lembaga ini sebenarnya rentan akan pelanggaran
hak cipta apabila tidak paham mengenai konsep hak cipta itu sendiri. Plagiasi,
Digitalisasi koleksi dan layanan foto kopi merupakan topik-topik yang
bersinggungan di hak cipta. Akan tetapi selain rentan dengan pelanggaran hak
cipta justru lembaga ini dapat dijadikan sebagai media sosialisasi hak cipta
sehingga dapat menimalkan tingkat pelanggaran hak cipta di Tanah Air.
Perpustakaan menghimpun dan melayankan berbagai bentuk karya
yang dilindungi hak ciptanya. Buku, jurnal, majalah, ceramah, pidato, peta,
foto, tugas akhir, gambar adalah sebagai format koleksi perpustakaan yang
didalamnya melekat hak cipta. Dengan demikian maka perpustakaan sebenarnya
sangat erat hubungannya dengan hak cipta. Bagaimana, tidak di dalam berbagai
koleksi yang dimiliki perpustakaan melekat hak cipta yang perlu dihormati dan
dijaga oleh perpustakaan. Jika tidak berhati-hati atau memiliki rambu-rambu
yang jelas dalam pelayanan perpustakaan justru perpustakaan dapat menyuburkan
praktek pelanggaran hak cipta.
Untuk itu dalam melayankan berbagai koleksi yang dimiliki
perpustakaan, maka perpustakaan perlu berhati-hati agar layanan yang
diberikannya kepada masyarakat bukan merupakan salah satu bentuk praktek
pelanggaran hak cipta. Dan idealnya perpustakaan dapat dijadikan sebagai
teladan dalam penegakan hak cipta dan sosialisasi tentang hak cipta.
Layanan foto kopi, digitalisasi koleksi serta maraknya plagiasi
karya tulis merupakan isu serta layanan perpustakaan yang terkait dengan hak
cipta. Perpustakaan perlu memberikan pembatasan yang jelas mengenai layanan
foto kopi sehingga layanan ini tidak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran
hak cipta. Dalam kegiatan digitalisasi koleksi, perpustakaan juga perlu
berhati-hati agar kegiatan yang dilakukan tidak melanggar hak cipta pengarang.
Selain itu perpustakaan juga perlu menangani plagiasi karya tulis dengan
berbagai strategi jitu dan bukan dengan cara proteksi koleksi tersebut sehingga
tidak dapat diakses oleh pengguna perpustakaan.
Foto kopi di perpustakaan
Praktek Foto kopi dapat dikategorikan sebagai tindakan
pelanggaran hak cipta. Hal ini disebabkan karena foto kopi berarti memperbanyak
suatu karya tanpa izin dari pengarang dan menerima keuntungan ekonomi atas jasa
foto kopi yang diberikan
Kegiatan foto kopi di perpustakaan dapat dikategorikan dalam
dua jenis, yaitu foto kopi untuk pengadaan koleksi perpustakaan serta layanan
foto kopi yang disediakan bagi pengguna perpustakaan. Kegiatan foto kopi untuk
pengadaan koleksi perpustakaan bertujuan untuk memenuhi kepentingan
perpustakaan, sedangkan layanan foto kopi bagi pengguna perpustakaan bertujuan
untuk memudahkan pengguna perpustakaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sering dijumpai koleksi
perpustakaan yang merupakan hasil foto kopi. Padahal kegiatan foto kopi ini
merupakan suatu bentuk pelanggaran hak cipta. Hal ini disebabkan oleh masalah
klasik yang selalu dihadapi perpustakaan yaitu keterbatasan dana. Perpustakaan
idealnya mampu menjadi institusi pelopor penegakan hak cipta. Kalaupun suatu
koleksi perpustakaan terpaksa difoto kopi itu didasarkan pada alasan bahwa buku
tersebut tidak ada dipasaran dan tidak akan dicetak lagi oleh penerbit atau
buku tersebut merupakan buku asing. Buku-buku asing harganya sangat mahal
sehingga dalam kegiatan pengadaan perpustakaan cukup membeli satu eksemplar
buku asing tersebut kemudia jumlahnya diperbanyak dengan di foto kopi.
Tanggapan:
Hak
cipta merupakan suatu hak khusus yang diberikan kepada pencipta maupun kepada
si penerima hak untuk dapat mempublikasikan, mengumumkan atau memperbanyak
hasil ciptaan maupun member izin untuk hak tersebut dengan tidak mngurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan yang berlaku, dalam hal ini yaitu
berdasarkan rumusan pasal 1 UHC Indonesia.
Semakin
menjamurnya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta yaitu lebih tepatnya dalam kasus memperbanyak buku
bacaan dengan cara memfotokopi padahal
dalam buku tersebut melekat hak cipta yang dimiliki oleh pengarang atau orang
yang ditunjuk oleh pengarang sehingga apabila kegiatan foto kopi dilakukan dan
tanpa memperoleh izin dari pemegang hak cipta.
Seperti yang telah dipaparkan dalam
contoh kasus di atas, jika praktek seperti ini diteruskan maka akan membunuh
kreatifitas pengarang. Pengarang akan enggan untuk menulis karena hasil
karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun
materil.
Di satu sisi, perpustakaan merupakan
media yang di anggap paling tepat dalah hal mensosialisasikan hasil ciptaan (dalam
hal ini buku bacaan) yang dibuat oleh para pengarangnya, dan disisi lain
perpustakaan merupakan lembaga yang paling rantan terhadap pelanggaran-pelanggaran
hak cipta tesebut. Dalam hal ini hanya dibutuhkan etika serta rasa kesadaran akan
hak cipta, baik kita sebagai masyarakat Indonesia, maupun lembaga-lembaga yang
terkait dalam pelanggaran-pelanggaran tersebut. Factor ekonomi merupakan
pendukung utama yang mendorong seseorang untuk membenarkan diri memfotokopi
buku bacaan. Perlu kiranya menumbuhkan kesadaran bahwa buku asli akan terasa
lebih jelas, baik tulisan maupun gambarnya serta biasanya buku-buku hasil
penggandaan melalui fotokopi akan cepat rusak sehingga tidak dapat bertahan
lebih lama daripada buku asli yang diterbitkan pengarang. Meskipun harganya relatif
mahal akan tetapi dapat menimbulkan rasa kepuasan tersendiri. Sebagai masyarakat
yang baik, ayolah… hargai hasil orang karya lain.
Sumber
Referensi:
http:// www.nurjanah.staff.gunadarma.ac.id
Studi Kasus dari:
http://squallovasket.blogspot.com/2012/04/hak-cipta.html
Studi Kasus dari:
http://squallovasket.blogspot.com/2012/04/hak-cipta.html
Referensi
Undang-undang Hak Cipta Indonesia bisa didownload pada alamat email dibawah
ini: